Sejak tinggal disini, banyak hal yang saya lewatkan; bukan cuma moment bersama orang terkasih, tapi juga perkembangan dalam negeri. Bermodalkan internet dan laptop, saya biasanya mengikuti berita tanah air dengan browsing. Itu pun kalau sempat, atau kalau ada berita tertentu yang sedang marak; seperti berita video polisi yang nyanyi dangdut dan marak di Youtube, berita anggota DPR yang buka situs tidak sopan di sela rapat paripurna, dsb, dsb. Yang unik, tidak jarang saya dapat berita bukan via website media elektronik, tapi dari link2 yang di-share sama temen di FB atau Twitter. Share news pun jadi pekerjaan paling mudah sedunia, dengan teknologi Copy-paste URL. Bahkan, buat yang malas Copy-Paste, tinggal Re-tweet di Twitter. Berita pun tersebar demikian cepat, seperti aliran listrik dengan voltase tinggi, yang siap menginduksi ke segala arah. Semakin seru lagi, kalau link/ beritanya disertai dengan komentar dan dirayakan bersama-sama dengan teman2 lain. Saling komentar terhadap keamburadulan oknum negara; saling tambah menambahi, mendukung komentar demi komentar, seolah2 si penjahat berada di pengadilan beramai2 : di link yang kita share ke public/ teman lain. Begitu seterusnya, kita terus berbagi berita2 buruk, dan mengomentarinya bersama2, sambil makan kuaci atau ngopi-ngopi.
Ah, bukan teknologinya yang saya ingin garis bawahi. Itu sih semua orang juga mengerti. Tapi, yuk mari kita ambil perhatian pada disiplin share berita/ link. Begitu mudahnya kita mengadili seseorang, atas kesalahan yang telah diperbuat, lewat ucapan dan komentar pedas. Bukan cuma itu saja, seluk beluk kehidupan selebritis pun nggak habis dikomentari. Seolah2 mereka adalah boneka yang berada di panggung selebritas untuk dijadikan bahan hiburan, sehingga kita bisa bergelak tawa beramai2 dan lupa kalau mereka juga manusia yang berdosa, sama seperti kita semua. Begitu mudahnya sesuatu yang terlihat salah menjadi semakin salah, dengan kita berasumsi X,Y,Z, menambahkan komentar A,B,C. Kita semua jadi punya bakat dramatisasi. Yang salah semakin salah, yang berdosa harus dihukum. Yang nggak kita sadari kemudian adalah, sebelum hukum menghakimi mereka, kita sudah mendahului menghakimi, dan merasa KARENA MEREKA SALAH MAKA MEREKA BERHAK DIHUKUM. Kita nggak pernah mikir SEANDAINYA SAYA YANG BERADA DI POSISI ITU, RASANYA GIMANA YA?
Saya nggak bilang kalau sharing link/ berita ini salah–nggak sama sekali. Cuma, berangkat dari rasa kemanusiaan, yuk ah kita nggak perlu menambahkan komentar bernada judgemental yang nggak relevan. Siapa sih kita ini? Tidak berdosa kah kita sehingga kita bisa berada di posisi menghakimi si pendosa? Biarkan berita jadi berita yang semestinya. Biarkan pesan yang ingin disampaikan kita jadikan pelajaran bersama tanpa membuat berita nya ter-distorsi karena pendapat pribadi. Bukan tidak mungkin kalau suatu saat kita yang diberi sepatu kekuasaan dan berdiri di atas kelalaian yang sama. Bukan tidak mungkin, kalau berita buruk A, berita buruk B, berita buruk C, menimpa kita atau saudara kita, atau teman kita, di hari depan. Yuk ah kita tempatkan diri pada kapasitas sebagai pihak yang belajar dari kesalahan orang lain. Bukan yang beralih profesi jadi komentator lepas–dan membicarakan kesalahan2 orang2 lain sebagai subjek paling diminati.
Seketika, saya jadi ingat petikan lagu Ebied :
Apakah buku diri ini harus selalu hitam pekat
Apakah dalam sejarah orang mesti jadi pahlawan
Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum
Dengan sinar matanya yang lebih tajam dari matahari……
Apakah bila terlanjur salah akan tetap dianggap salah
Tak ada waktu lagi benahi diri
Tak ada tempat lagi untuk kembali
Mungkinkah Ebied G. Ade juga berusaha mengatakan hal yang sama?
kakinya bagus… *salah fokus*
setuju..
kalo ada klip atau streaming mp3 lagu Ebied kayaknya lebih mantab