Dalam Diam Saja.

Musim liburan, walau bukan libur nasional di Singapore. Saya bekerja kok, tapi dari rumah 😉 Ini sih salah satu hal asik kerja di kantor regional. Karena multicountries, karyawan yang berasal dari negara lain pada pulang ke negara masing-masing. Tim saya juga begitu. Berhubung bos mau partying around with family himself, nggak fair donc kalau dia partying while I am stuck in office! Jadi, beberapa hari yang lalu dia deliberately said ,”Yessi, for 27th onward til New Year, you can work from home. I’ll not be in the office, there’ll be no body here, but I’ll be on email. Anything you need help from me on your projects, call me“.

Saya pun menyambut dengan senyum Pepsodent! 😉

Dan disinilah saya sekarang, di rumah Siantar. Diantara Bapak, Ibu, adik Reza (lebih populer dengan nama Ntong) dan si bungsu Ragil yang juga lagi liburan sekolah. Sebenarnya kepulangan saya kali ini memang karena Bapak sakit. Sekarang sudah mendingan, cuma masih harus tetap berobat jalan; dan minum obatnya nggak boleh berhenti. Tapi aktivitas masing2 orang di rumah nggak banyak beda. Saya biarkan laptop menyala di ruang tamu. Menghampirinya kalau terdengar suara notifikasi email masuk ke Outlook. Bapak lebih banyak berbaring dan nonton TV (Bapak memang sudah tidak bekerja lagi, sejak beberapa tahun yang lalu). Mama yang hobi masak, tetap setia mengepul asap masakan dari dapur yang membuat kami semua selalu menanti2 waktu makan. I’m well fed, selalu begitu setiap pulang. Sementara adik Ragil dan Ntong nggak berhenti2nya bermain dengan iPhone saya, alien berteknologi canggih yang tampaknya begitu memukau buat mereka berdua. Ragil duduk di kelas 4 SD, sementara Reza kelas 2 SMP. Obrolan mereka berdua pun nggak jauh2 dari obrolan anak laki tanggung : bola. Ah, anak laki 🙂

Demikian pula waktu berjalan, hingga hari ini. Sore yang cerah. Saya, Papa, Mama, sama Ragil pergi ke lapangan sepakbola beberapa blok dari rumah, demi menyaksikan Ntong tanding bola. Semangatnya masih menyala2 seiringan demam piala AFF kemaren. Adik saya jadi striker rupanya. Pantas saja dia menganggap pertandingan ini besar sekali. Heboh dari rumah, heboh pula di lapangan. Saya yang tadinya kalem2 saja jadi ikutan teriak2 mmberi dukungan. Sampai kemudian saya sadari, ada banyak suara yang lebih kencang daripada suara saya. Beberapa anak perempuan belasan tahun rupanya sedang mengelu-elukan adik saya.

“Ayo Ntooonng gantengg.. kamu bisaaaa!”.

“Ayo Ntooongg.. kalau menang nanti jalan ke Taman Bungaaaa”, atau beberapa yang teriak2

“Ntong! Ntong! Kejar Ntonggg!”.

Glekh. Di tengah sorak ramai ini kemudian saya tersadar. Adik saya sudah beranjak dewasa. Sudah 13 tahun umurnya. Saya perhatikan lagi dari kejauhan, memandangnya menggelandang bola kian kemari: tulang rahangnya memang sudah tampak lebih jelas. Kakinya sangat panjang. Badannya tegap dan kulitnya.. semakin pekat kena matahari. Adik saya.. banyak yang berubah dari dia. Padahal baru libur Lebaran kemarin saya pulang. Pandangan saya pun beranjak melihat adik Ragil, adik saya yang paling kecil. Ragil tidak banyak berubah, cuman rambutnya yang lebih panjang dan badannya yang tampak lebih kurus. Tapi saya kaget saat Ragil bisa bilang,

“Itu pemain bek-nya kok nggak bantu jagain gawangnya.. nggak pinter tuh dia tackle nya.. jadi kiper nya kan nggak ada yang lindungin.. Aku aja deh yang maen”..

Wow, adik Ragil yang kecil udah nggak kecil lagi. Saya seperti diingatkan kalau selama saya tidak pulang, mereka bertumbuh dan berkembang. Dan saya merasa kehilangan bagian2 itu. Bagaimana seharusnya saya merayakan adik Ragil yang dapat juara 1 di sekolahnya. Bagaimana seharusnya saya aware kalau sepatu bola nya Ntong yang dibelikan beberapa bulan lalu ternyata sudah kekecilan karena kakinya sudah memanjang.

Kalau mau bela diri, saya yakin nggak ada yang bisa menyalahkan saya atas keabsenan saya di proses tumbuh-kembang mereka. Tokh saya jauh karena saya bekerja. Di path ini saya harus bekerja jauh dari mereka, dan mereka tinggal sama Bapak Ibu saja. Di titik ini, kemudian saya bersyukur bahwa Bapak sama Ibu dekat dengan mereka, dan punya kontrol penuh. Seketika pula saya janji, saya harus jadi saksi anak2 saya tumbuh-kembang nanti.

Lalu saya ingat teguran beberapa teman dekat, semingguan yang lalu. Kata mereka, saya acuh dan tidak pernah bales SMS. Saya jarang sekali balas email. Saya ketinggalan banyak moment2 besar buat teman dekat saya sendiri. Saya tau ini salah, saya melewatkan begitu banyak update berharga. Kemudian saya sadar, saya nggak bisa kerja di kantor 12 jam sehari. Well, bukan 12 jam dikantor, tapi pun sesudah nyampe rumah, masih ngurusin kerjaan kantor. Mungkin begini cikal bakal orang yang kehilangan ‘kehidupan’. Dan saya nggak mau jadi salah satu dari mereka.

Dalam diam saja, saya doain ke Tuhan, semoga rotasi saya selanjutnya (di negara manapun itu), memungkinkan saya untuk mulai hidup normal, sehingga tidak perlu lagi saya menghabiskan waktu lebih dari 12 jam untuk urusan kantor.

2 thoughts on “Dalam Diam Saja.

  1. Indra says:

    Semangat dek!
    Tapi kalo melihat dari jauh sepertinya dirimu orang paling menikmati hidup. hehehe..:)

  2. Terimakasih Bang.. Iya kah? B-)

Leave a Reply