Sehari Lebih Tua

Jika dalam seminggu kita bekerja Senin-Jumat, dari Matahari terbit sampai Matahari benar2 terbenam, waktu 24 jam sehari kadang terasa berlalu begitu saja. Wiken pun ditunggu sepenuh hati, seperti anak SD menanti bel istirahat berbunyi. Lantas saya kadang merasa seperti kurang ‘space’. Relung pikiran dan hati di bagian sana serasa hampa. Tidak lengkap.

Moment berangkat dan pulang kerja pun jadi kemewahan tersendiri. Duduk di pojokan bus, melarikan diri sementara dari dunia. Sambil memandang keluar, dimana gedung2, orang2, pohon2, seperti berlarian ke arah yang berlawanan. Rangkaian kehidupan demi kehidupan di sepanjang jalan yang saya lalui, seperti putaran film dengan soundtrack yang saya pilih sendiri, dengan earphone di telinga–memainkan nada2 indah yang membelai lembut. Ketika itu, banyak yang bisa terjadi dalam pikiran. Flash back. Cerita masa lalu. Ingat masakan Mama. Ingat sepatu bola adik kecil. Ingat rumah. Kangen teriak2 sama teman. Melihat pohon. Lihat sungai. Lihat air dan damainya. Sampai 6 lagu berlalu.

Begitu (mungkin) setiap hari akan berjalan. Begitu kita memulai dan mengakhiri hari, dimana kita lebih tua 1 hari dari kemarin. Tidak perlu khawatir. Iya. Tapi ada saatnya kita perlu duduk sendirian saja. Dimana kita nggak perlu mikirin orang lain, pendapat orang lain, dunia orang lain. Saya jadi ingat lirik lagu Dee, Grew a Day Older. Dia bilang,

“If everything has been written down, why worry?”

Kesimpulannya? Kita akan menua. Setiap hari. Jadi nggak usah khawatir. Duduk aja di pojokan bus. Putar soundtrack sendiri. Terbang dulu ke dunia lain. Cuekin aja orang lain. Take your time for yourself, take your space Kalau perlu, nggak usah jawab telepon atau SMS. Hihihi 🙂

4 thoughts on “Sehari Lebih Tua

  1. iwan says:

    “…Kalau perlu, ngga usah jawan telepon atau sms.. ” likes this hehe 😀

    Salam kenal,
    iwan

  2. rani says:

    sering kayak gitu. meng-antisosial-kan diri. having me time 🙂

Leave a Reply