Lebih dari enam tahun sejak saya menjejakkan kaki pertama kali di Pulau Jawa. Enam tahun, setelah warna warni cerita–susah senang yang jika dituliskan ke sebuah buku atau novel, mungkin akan sangat membingungkan; terlalu banyak aktor, terlalu banyak tempat yang berbeda, terlalu banyak keluh kesah. Banyak cerita. Bagaimana mulanya seorang anak manusia yang ingin masuk Fakultas Ilmu Komputer UI terdampar di jurusan yang salah hingga harus mengulang SPMB sebelum akhirnya masuk ITB. Ah, tentu saja hidup kita semua istimewa.
Selama itu saya tidak pulang. Well, walaupun saya tinggal di Bandung selama 5 tahun, saya menganggapnya rumah kedua saja. Balige, kota kecil di pinggiran danau Toba adalah rumah saya. Dimana orangtua saya berada.
Jadi, 16 Oktober saya menjejakkan kaki disini lagi.
Seiring umur yang juga sudah bertambah 6 tahun, seharusnya banyak hal yang berubah dan mengubah wajah kota. Ternyata tidak sama sekali. Masih nggak ada mall disana. Sepanjang mata memandang masih sawah hijau. Cuma cat rumah yang sudah mengusam. Dan waktu yang telah berlalu, yang seketika melingkarkan cincin di jari manis teman2 masa kecil. Waktunya menikah dan membina keluarga, untuk sebagian orang.
Ah, hidup rasanya jadi begitu singkat. Rasanya masih seperti kemarin saja. Kerinduan akan pulang sedikit terobati. Inilah seni merantau. Kita belajar sangat banyak hal; mandiri, teruji, mencoba jadi pribadi yang lebih baik. Bukan berarti kita nggak bisa belajar di tanah kelahiran sendiri, tapi keluar dari zona nyaman dan menguji, sejauh apa kita bisa bertahan, sedalam apa komitmen kita tertanam. Karena di perantauan, kita hidup sendiri dan jauh dari orang2 yang kita sayang. Dunia orang lain yang kemudian menjadi dunia kita juga. Dan seolah-olah saat kita pulang, kita telah berubah jadi pribadi yang sangat jauh berbeda; yang sukses, yang didambakan lelaki sekampung, yang menjadi tokoh idola adik2.
Dua malam saja saya habiskan disana. Dua malam, dan begitu banyak kenangan yang berputar kembali. Tentang pertemuan dengan Erika dan Cinda–Part of 7Stars. Tetangga yang memeluk cium. Guru kepala sekolah yang masih saja mengelu-elukan saya, sebagai anak kebanggaan Pak Surya Budhi. Dan ayah seorang teman yang tidak tau bahwa akhirnya saya memilih ITB, dan tetap mengira bahwa saya sudah jadi seorang dokter. Dan paman, bibi, beserta ponakan yang bilang sekarang saya cantik seperti artis Korea. Hahaha! Apakah saya dulu memang jelek sekali? 🙂
Waktu weekend terasa sangat singkat, karena perjalanan Medan-Balige saja hampir 6,5 jam. Dan dua malam yang saya habiskan di Medan kemarin tampaknya mengisyaratkan pertemuan kedua. Akhir November saya akan pulang lagi. Ayo, para perantau! Pulanglah, kunjungi kampung halaman. Membawa hati yang haus kasih, dan pulang dengan kobaran semangat di dada.
Ohya, ada oleh2 foto Danau Toba yang saya jepret dari dalam bis yang melaju kencang. Lain kali, saya bawa oleh2 yang lebih dahsyat! 😀
..:). Satu kisah yang jadi tambahan buat publik, selain laskar pelangi.
Nice ..selamat anda sukses menjadi perantau pelajar. :).
Balige cocok juga buat diangkat cerita mu dan sebuah novel kemandirian, menambah novel 2 seperti matari ..dll. Berbagi spirit perantau pelajar.
Makasih aku byk belajar darimu juga..:P
hah? yessi orang medan? ga keliatan…soalnya kayak artis korea.. hihihi
@ Jerry : Akh, terimakasih, tapi..belom ada apa2nya dibandingkan mereka, Jer. Saya belum makan garam sekali 🙂
@ Iyra : Hayo Iyra! Kamu buat aku makin GeEr yaaa, hahaha. Terimakasih dear 🙂
Itulah kisah yang enggak pernah padam sis..
Echi kan tau, aku bukan perantau. but I always want to be one. Tulisannya cantik sekali, secantik artis korea, eh secantik Echi. 🙂
Hidup di 3 dunia yang secara ekstrim berbeda (Balige / Bandung / tempat kerja sekarang), gimana ya rasanya?
Elok sekali foto danau toba di atas. Kalau tak melihat latar depannya yang tampak bergeser, tak sangka bahsa diambil dari dalam bis berkecepatan tinggi.
hayooo hayoooo… aku mampir lagi ni mba yes setelah lama berguling-guling di dunia maya.
teringat dengan inspiratorku hehehehehe…
kampung halaman? rindu juga
Aku tak tahu apa yang disebut pulang, mungkin karena diriku terlalu lama jauh dari kampung halaman. Ada rasa rindu, tapi ketika aku kembali pulang aku tak tahu apa yang aku cari.
Ketika aku mau mencoba mencari, sepertinya semuanya semakin blur, terhapus oleh jejak-jejak kesibukan, sehingga masa lalu itu hilang, aku sudah tak ingat bagaimana semilir angin mencoba menerbangkan daun pohon waru, aku juga sudah tidak ingat lagi tentang seorang Tukang Becak yang selalu mengantarkanku dengan setia. Aku juga sudah tidak ingat bagaimana rasa sambal buatan nenekku yang telah meninggal.
Melihat tulisanmu, aku juga jadi berpikir, hidup sangat singkat, dan mungkin apa yang sudah kita lalui tidak akan ada ataupun berbekas. Karena sangat singkat itulah, mungkin aku tak lagi melihat ke belakang, sebab sudah tak mungkin lagi merubah apa yang sudah terjadi. Bisa saja kita membuat mesin waktu dan kembali ke masa lalu, tapi kita tak akan pernah bisa merubah apapun, sebab semuanya telah tertulis. Hanya do’a yang mungkin bisa mengubah segalanya.
Duh, jadi ingat ibu ama nenek, jadi sedih 🙁
Jadi sekarang udah jd gadis idaman lelaki sekampung ya, Chi? Hihihi..
Yup, pulang kampung selalu terasa ‘lain’. Seperti berhenti sejenak untuk me-recharge energi sebelum melaju lagi.
Anyway, your life seems interesting. And i like your quote “hidup kita semua memang istimewa”. Thanks for share, dear.. 🙂
waaaa…satu kampung kita…kampungku di brastagi nya 😉
namanya sama pulak…ehehehhe 🙂
*cipika cipiki*
aduh aku dicipika cipiki mba yessi, iya gak si?
atau salah orang ya? hehehehe
paket tour aku minggu depan udah siap belum yah sayang? hehehe…
xixixix.. artis korea?
hm… bener banget, pulang ke kampung halaman pasti selalu menyenangkan 🙂
Eci ..baru pertma kali ini baca tulisan eci….bagus banget