Jika lapar, makanlah. Jika haus, minumlah. Jika ngantuk, tidurlah. Jika galau, berdoalah. Jika sudah berdoa dan masih galau? Mungkin butuh jalan2 sendirian seperti saya :p
***
Sebenarnya saya menyebut perjalanan saya ke Yogya kemarin bukan liburan. Memang niatnya bukan untuk liburan. Makanya saya memilih berangkat sendirian. Sebelum berangkat, saya cuman mendamba satu hal : perasaan tenang, rehat kembali. Merasakan lagi, bagaimana sih rasanya menjadi orang yang bahagia. Bukan bahagia dalam arti banyak uang-barang mewah-pacar ganteng-mertua kaya. Tapi bahagia disini, di ruang2 hati dan jiwa. Begitu tau kalau saya mau jalan ke Yogya, beberapa teman menganjurkan beberapa tempat untuk dikunjungi. Tapi apalah itu semua, pun saya tidak percaya pada apa yang disebut itenerary. Saya tidak mau berencana banyak2 dan kompleks. Saya mau jalan sendiri saja, tanpa batas kebebasan. Dan terang saja, ada sensasi tersendiri yang saya rasa kalau jalan sendiri begini. Bagian terbaik dari perasaan takut tersesat adalah : bahwa sebenarnya kita bebas. Bebas melangkah kemana saja, di dunia asing dimana tidak seorang pun mengenal kita.
Langkah pun membawa saya ke beberapa tempat yang sebenarnya memang tidak saya rencanakan untuk dikunjungi. Entah kenapa, mood saya memang ter-setting untuk humble, sehumble-humble nya. Saya pasrah aja ketika diajak ke sisa-sisa daerah yang kena letusan Merapi, bukannya ke pantai atau beli oleh2.
Sebenarnya saya menyebut perjalanan saya ke Yogya kemarin bukan liburan. Memang niatnya bukan lburan, atau jalan2 ke pantai.
Now let the day, Just slip away
So the dark night, May watch over you
Nocturne
Though darkness lay, It will give way
When the dark night, Delivers the day
Demi melihat padang debu yang masih hangat dan pohon-pohon yang warnanya berubah jadi abu-abu dan hitam sisa terbakar, perasaan saya tertusuk nyeri. Pikiran saya melayang kemana-mana, membayangkan di tempat inilah banyak kehidupan baru saja terenggut. Sepanjang mata saya melihat, adalah lapisan debu bernuansa pilu yang menyesakkan dada. Saya habiskan beberapa jam berjalan disana. Entah apa yang saya cari. Hamparan debu terbakar ini masih begitu luas untuk dijalani, tapi entah kenapa kaki mengajak saya terus melangkah.
Jika saja hujan tidak mengguyur tiba-tiba, senja itu mungkin saya sudah berjalan ke batas tanpa tepi. Padahal mungkin saya hanya diajak mencari jejak kematian diantara sunyi, mencium aromanya–mungkin. Agar saya tau lagi, bagaimana seharusnya saya ‘hidup’ dalam kehidupan yang sekarang.
Ah, Desember kali ini seperti jadi sebuah dunia hidup penuh cerita. Dimana kehidupan orang lain juga direfleksikan ke hadapan saya, mengajak saya agar lebih bijaksana memandang hidup. Perasaan saya sekarang seperti sebuah serenade. Nocturne.