Lagi2, sebenernya ngobrolin agama bukan bagian favorit saya–apalagi jika extentnya adalah membandingkan satu agama sama agama lain. OK deh. Lupakan dulu label2 yang melekat pada diri kita; agama; status; kasta; jabatan, dan lain sebagainya, dan lain seterusnya.
Kita pandang diri kita sendiri sebagai manusia yang purely manusia. Tanpa label2 keduniawian yang sebenarnya tidak pernah diciptakan sama yang Maha Pencipta.
Sebenarnya saya jadi terusik untuk menulis ini justru karena seorang President sebuah perkumpulan humanis di Singapore menuliskan artikel di Straits Time edisi 4 Desember kemarin. Judul artikelnya “You don’t need faith to be good“. Saya cuplikkan saja deh disini beliau bilang apa;
THE Saturday Special report last week (‘God wants youth’) stated that religious groups were determined not to lose a generation to godlessness, especially now with youth gangs in the news.
It also noted that what is at stake is the potential of losing the youth to cynicism, violence and even fanaticism. These remarks suggest a prejudice against those without any religious affiliation. The last census in 2000 showed that roughly 15 per cent of Singaporeans did not have any religious affiliation. The article essentially suggested that this group, ‘the godless’, are cynical and prone to violence.
As a society for non-believers, the Humanist Society (Singapore) disagrees.
The reality in societies everywhere is that there is no difference between non-believing youth and the religious youth in their propensity towards violence. There are actually higher levels of violence among those who identify themselves as ‘religious’ or ‘faithful’.
As for cynicism, there is certainly no correlation between non-belief and a cynical attitude. Many non-believers are involved in the world around them, trying to make it a more humane, compassionate place.
The two largest charitable donations in the history of the world were by atheists: American investor Warren Buffett and his fellow American Bill Gates of Microsoft donated US$30 billion (S$39 billion) and US$11 billion respectively to the Bill and Melinda Gates foundation, a charitable organisation whose main goals are to enhance health care and reduce poverty worldwide.
I know of many non-believers, people who identify themselves as humanists, atheists and agnostics, who regularly donate to charity. Many also do volunteer work for humanitarian causes.
One does not need to have a religion to lead a good, happy and meaningful life and to have compassion for our fellow human beings.
Paul Tobin
President
Humanist Society (Singapore)
Tulisan ini pun jadi bahan diskusi di Discussion Board Staits Time hari itu. Sepintas lalu, dari komen yang masuk saya bisa capture kalau kebanyakan pembacanya menghi-light bagian kalimat “One does not need to have a religion to lead a good, happy and meaningful life and to have compassion for our fellow human beings”.
Ah well, balik lagi, itu urusan manusia, persona secara pribadi. Saya memandang agama itu sebagai pilihan yang asasi. Pilihan yang mutlak dimiliki setiap orang tanpa seorangpun bisa mengganggu gugat. Seperti hak untuk bahagia, hak untuk mengeluarkan pikiran, hak untuk berkumpul, dls. Tapi urusan faith adalah dua arah-Sang Pencipta dan hambaNya.
Kalau Paul Tobin bahkan bilang bahwa kita bahkan nggak perlu ‘keyakinan’ untuk menjadi orang baik, dan bahagia, dan punya hidup yang berarti–saya malah kepikiran banyak pertanyaan.
Apakah makna ‘Good‘ yang beliau maksud adalah good dalam teritori yang manusia ciptakan sendiri? Seperti good food, good life, good in our own way and terms? Why we need to be good? Is it for the sake of ourselves, our God, or something else?
Jika kita juga nggak butuh keyakinan untuk menjadi Happy dan punya meaningful life, lalu apakah recipe lain yang kita butuh? Jika kita punya keyakinan, jangan2 kita diberi bukan hanya kebahagiaan, meaningful life, tapi juga dilimpahi hal-hal plus-plus lainnya?
Jika bahagia buat A adalah minum jus sementara bahagia buat B adalah makan bakso, ya beda donc parameternya. Tapi diantara banyak parameter yang orang pakai untuk menggambarkan kebahagiaan dan hidup yang bermakna itu, ada 1 bottom line nya. Yaitu…
(To be continued) 😉
Nice.. Ga ada pilihan “like” kayak di facebook ya? :d
Saya yakin, pasti banyak pro kontra dari speech si Paul itu. Saya ga akan komentar masalah agama karena ga akan ada habisnya-seperti yang kamu bilang. Tapi memang, kebahagiaan itu dapat dirasakan oleh setiap orang, dan kebaikan pun dapat dilakukan oleh setiap orang. Tanpa pandang bulu, orang tua, muda, kaya, miskin, orang yang beragama A, agama B, C dst sampai Z. Karena 2 hal itu pada dasarnya dimiliki setiap manusia dan yang dicari serta membuat tenang dan nyaman setiap insannya. Bahkan setiap orang pun dalam hidupnya ingin bahagia, cuma dengan caranya masing-masing–seperti contoh di paragraf terakhir. Dan bahkan setiap orang pun pada dasarnya adalah baik. Bahkan seorang preman pun sadar bahwa yang dilakukannya itu tidak baik. Mungkin keadaan yang memaksanya seperti itu ya intinya kembali kepada fitrah kita. Menurut saya 2 hal itu adalah fitrah manusia. Dan kalau dikaitkan dengan agama, saya yakin setiap agama pun mengajarkan hal yang baik. IMHO 🙂
Our scientifically oriented knowledge seeks to master reality, and bring it under the control of reason, but a delight in unknowing has also been part of the human experience. Human seeks for meaning, by measuring everything, rationalize abundance of things, all around us. God is terra incognita, the truth is absolute, but the opinion about truth is relative ( but human fight each other to defend their opinion, absolute stupidity)
Being “good person” toward society is a must, it’s a part of “adaptability” skill, obviously. No matter how great we are, being alone is uncool 🙁
In a civics society, it is a social responsibility, a moral responsibility since someone is sharing life with others in a lawful society.
Memang bener apa yg disampaikan paul “you don’t need faith to be good”..
yup, karena memang sudah fitrah manusia ingin menjadi baik, menyukai keindahan, mencari perlindungan, kenyamanan, kebahagiaan dsb. semua sifat diatas merupakan turunan sifat2 penciptanya, sudah menjadi kebenaran absolute(kt Maximillian).
fitrah manusia ini sama kayak kata yessi “Jika bahagia buat A adalah minum jus sementara bahagia buat B adalah makan bakso” ada 1 bottom line yaitu jika lapar makan, jika haus minum (guess).
Dengan adanya fitrah(sifat alami) ini, manusia yg sudah dibedakan dgn mahluk lain melalui akal pikirannya dituntut untuk berfikir secara alami juga meyakini akan adanya kekuatan besar di luar dirinya.. that’s we need faith.
So, my comment for first statement in picture is,
yes you don’t need faith to be good coz we are good already, so we need faith to make our live always good..
the second one, is stupid question.. same when you asking are you want to die ..? 😮
nice article.
kaya sinetron sih mbak, ada to be continue … hehe
penasaran ni mbak.
Hehehe 🙂
karena memang fitrah kita itu orang baik, yg ga bisa lepas dr lingkungan yg mempengaruhi, dengan hanya “fine environment” kita pasti jd orang baik. lingkungan yg buruk membuat kita berpaling dr kebaikan, and it’s like a disease that cud spread easily, but despite of that still we’re good social human beings