Matahari hangat sore itu. Kamu datang dengan mata yang sembab. “Kita udah buat keputusan”, katamu getir. Ah, hampir saja airmatamu jatuh membasah. Aku peluk kamu, membawa kamu ke dalam cafe di bilangan UE Square, meyakinkan orang yang berlalu lalang tak akan melihat wajah kuyu ini.
Mulailah kamu bercerita. Sejak ketemu hampir setahun yang lalu, bersama dengan pria itu menjalani hari-hari penuh sukacita, bertumbuh bersama, belajar bersama, saat detik demi detik waktu yang dilalui kian mengukir sesuatu yang lebih indah di hati. Perasaan sayang, perasaan membutuhkan satu sama lain, keinginan bertumbuh bersama dijalanNya, perasaan ingin bersama hingga akhir hayat. Saya mengerti betul bagaimana perasaan kamu. Been there, done that. Ahhh..
Kamu terus menangis. Perasaan tidak rela, perasaan kecewa, ingin marah, perasaan terluka, duh Cah Ayu. Sakit di hatimu rasanya terlihat jelas dari buliran bening yang terus mengalir membasahi pipi tanpa make-up itu. Aku pula diam tak bergeming, cuman bisa menunggu cerita kamu selanjutnya. Cerita kamu nggak sama persis sama ceritaku, tapi–biarlah bagian ini kita dengerin cerita kamu saja.
Aku dengarkan lagi. Bagaimana pahitnya ketika sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari harus terpaksa dilupakan, dihapus dari ingatan. Bagaimana kenangan ketika berjalan beriringan, bercanda, berpegangan tangan dan menghabiskan senja bersama kemudian berkejaran di pikiran dan harus dilupakan. Bagaimana kemudian kamu berusaha sekuat tenanga untuk melupakan baunya, wangi tubuhnya, sorot matanya, tulang pipinya, seperti orang gila. Bagaimana kamu seperti nakhoda yang kehilangan arah, dan tidak tau jalan pulang, tidak punya pegangan, dan mendapatkan diri teramat lemah tanpa dia. Ada yang hilang. Kenangan yang hilang. Genggaman tangan yang hilang. Peluk yang hilang. Senyum yang hilang. Kehangatan yang hilang. Saat-saat bersama yang hilang. ‘Separuh nafas’ yang hilang.
Trus kamu sudahin cerita kamu. Aku genggam tangan kamu. Entah kekuatan darimana yang kemudian membuatku berucap bahwa Dia saat ini sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih indah ~ yang akan datang di saat yang tepat. Entah itu sekarang, entah itu besok. Entah itu bulan depan, entah itu akhir tahun. Kita cuma perlu yakin. Percaya sepenuh hati. Bahwa kehendakNya lah yang akan terjadi. Bahwa kita bisa berencana, tapi approvalnya ada di Dia. Bahwa waktunya memang udah ada, untuk semua, sudah diatur. Dan untuk saat ini, porsinya mungkin cuman buat ketemu pria itu sampai fase ini saja. Aku yakinkan kamu, nggak ada yang sia-sia. Sesuatu hadir dan datang dalam hidup kita untuk alasan tersendiri. Dan porsi itu sungguh sangat patut disyukuri.
Seperti yang tertulis,
“To every thing there is a season, and a time to every purpose under the heaven. A time to be born, and a time to die; a time to plant, and a time to pluck up that which is planted. A time to kill, and a time to heal; a time to break down, and a time to build up. A time to weep, and a time to laugh; a time to mourn, and a time to dance. A time to cast away stones, and a time to gather stones together; a time to embrace, and a time to refrain from embracing. A time to get, and a time to lose; a time to keep, and a time to cast away. A time to rend, and a time to sew; a time to keep silence, and a time to speak. A time to love, and a time to hate; a time of war, and a time of peace. God had made every thing beautiful in His time”.
Kamu terdiam sesaat. 10 detik, 30 detik, 60 detik. Dan tersenyum sesudahnya. Alhamdulillah.
Aku peluk kamu lagi, mengusap rambut dan pundak kamu, dan berbisik, “Untuk porsi yang udah dikasih ke kamu, bersyukur yuk?”. Aku peluk kamu lagi. Untuk dia yang pergi, untuk hati yang luka, pun aku masih belajar untuk ikhlas.