Saya bangun dan menyibak tirai jendela. Matahari sudah tinggi, rupanya. Cuma AC di kamar aja yang dingin, jadi saya nggak sadar kalau udah siang. Lantas saya buat kopi, nyalain laptop, sambil memandangin kota Kuala Lumpur pagi itu. Ini hari kedua saya training disini. Seketika, mata saya menangkap lembaran brosur yang tampaknya sengaja diletakkan di meja, sama manajemen hotel tempat saya nginep.
Selembar brosur dengan judul “What’s your world vision?” menarik perhatian saya. Rupanya memang ini brosur dari World Vision Malaysia untuk donation subscription.
Ini bukan soal saya subscribe atau nggak. Tapi hati saya berdenting kembali. Seperti diingatkan lagi, saya ada disini buat apa? Visi saya dalam eksistensi saya sekarang apa? Saya sempat terdiam, lama sekali. Ini pertanyaan yang bahkan kalau disuruh menjawabnya langsung, saya masih akan mengatakannya tanpa penuh keyakinan. Karena saya tau, saya belum berbuat banyak untuk visi itu.
Sepanjang hari, pertanyaan2 berkumpulan di kepala. Visi saya apa? Apakah saya sudah melakukan sesuatu yang nyata untuk visi saya itu? Apakah kehadiran saya di dunia ini tidak sama sekali memberikan penghiburan buat orang lain? Apakah berkat yang dilimpahkan ke saya demikian saja berlalu dan terbuang tanpa saya membagi dan bahkan merayakannya bersama orang lain? Apakah saya lupa bersyukur? Apakah hal yang saya lakukan sekarang menuju visi saya yang sebenarnya? Jika saya harus berhenti dari apa yang saya lakukan sekarang, apakah saya siap untuk benar2 melangkah di path yang menuju visi saya? Apakah saya mau, mulai menyelami dan hidup menuju visi saya mulai detik ini juga, sekarang juga? Apakah saya terlalu menilai keletihan dan kesusahan yang saya hadapi sebagai suatu yang berlebihan, hingga saya terbuai dan seperti dibuat terlupa makna kehadiran saya yang sebenarnya? Apakah saya masih keras kepala untuk membela apa yang saya mau, atau justru saya terlalu memudahkan segalanya karena berharap dan berpikir bahwa Dia akan memberikan sesuatu yang indah pada waktuNya?
Saya benar2 clueless. Saya kepikiran alasan klise. Tapi saya sebenarnya tau, bahasa seindah apapun rasanya nggak akan punya nyawa apa-apa untuk mengemukakan alasan demi alasan yang sekarang bertengger di otak saya.
Saya jalan ditempat. Dan saya nggak bisa menyangkal itu. Titik.
I am nowhere on my world vision. Shamefully admitted it. Glekh.